Slideshow

Selamat malam
Aku tidak bisa tidur jadi mengoceh yang bukan bukan
Masa lalu itu bahan tertawaan*

Masa depan adalah bahan perenungan
Masa kini adalah bahan baku untuk olahan
Satu lagi
Sebaiknya mereka ganti slogannya
Seharusya cinta dapat menyebabkan serangan jantung
Bukan rokok dapat menyebabkan serangan jantung
Aku cuma mau berkata
Jadi aku ucapkan salam saja
Aku tidak tahu bagaimana memulainya


Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 58 tahun) adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung napas Islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor karena melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.


Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha.

Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara-acara bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali dan sudah beralngsung lebih dari 10 tahun.

Di kota lain juga masih mempunyai agenda rutin bulanan seperti Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, dan masih ada beberapa lain yang bersifat tentative namun sering seperti di Bandung, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.

Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Teater

Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:

 Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
 Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
 Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
 Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
 Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
 Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
 Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
 Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
 Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti

...

 NDRC (2012)

Film

 RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi

Puisi/Buku

Menerbitkan buku puisi:

 “M” Frustasi (1976),
 Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
 Sajak-Sajak Cinta (1978),
 Nyanyian Gelandangan (1982),
 102 Untuk Tuhanku (1983),
 Suluk Pesisiran (1989),
 Lautan Jilbab (1989),
 Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
 Cahaya Maha Cahaya (1991),
 Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
 Abacadabra (1994),
 Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Essai/Buku

Buku-buku esainya tak kurang dari 30 antara lain:

 Dari Pojok Sejarah (1985),
 Sastra Yang Membebaskan (1985)
 Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
 Markesot Bertutur (1993),
 Markesot Bertutur Lagi (1994),
 Opini Plesetan (1996),
 Gerakan Punakawan (1994),
 Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
 Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
 Slilit Sang Kiai (1991),
 Sudrun Gugat (1994),
 Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
 Bola- Bola Kultural (1996),
 Budaya Tanding (1995),
 Titik Nadir Demokrasi (1995),
 Tuhanpun Berpuasa (1996),
 Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
 Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
 Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
 Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
 Kiai Kocar Kacir (1998),
 Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
 Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
 Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
 Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
 Menelusuri Titik Keimanan (2001),
 Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
 Segitiga Cinta (2001),
 Kitab Ketentraman (2001),
 Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
 Tahajjud Cinta (2003),
 Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
 Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
 Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
 Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
 Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
 Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
 Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
 Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
 Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
 DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)

Penghargaan

Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. [1]. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara



Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun)[1] adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.[2] Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.[3]


Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.[4] Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.



Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisa-i,[6] mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling disukainya.[7] Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.

Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[7]

Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.

Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.[8]
Karier

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan.[9] Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama "al-Mahdi".[10]

Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat.[7] Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama pena Hamka,[11] melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.

Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1951,[12] dan pada tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan pemerintah setempat.[13]
Politik

Hamka juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.[10] Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.[14]

Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.[15] Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.[1]
Sastrawan

Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.[16]

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[16]

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo[5] atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.[16]

Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[16] Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di negara negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.
Daftar karya

 Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
 Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
 Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
 Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
 Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
 Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
 Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
 Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
 Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
 Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
 Majalah Semangat Islam, 1943.
 Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
 Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
 Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
 Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
 Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
 Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
 Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
 Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
 Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
 Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
 Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
 Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
 Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
 Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
 Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
 K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
 Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
 Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
 Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
 Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
 Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
 Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
 Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
 Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
 Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
 Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
 Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
 Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
 Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
 Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
 Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
 Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
 Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
 Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
 Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
 Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
 Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
 Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
 Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
 Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
 Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
 Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
 Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
 Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
 Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
 Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
 Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
 Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
 Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
 Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
 Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
 Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
 Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
 Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
 Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
 Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
 Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
 Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
 Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
 Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
 Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
 Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
 Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
 Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
 Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
 Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
 Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
 Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
 Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
 Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
 Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
 Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
 Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
 Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
 Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
 Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
 Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
 Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
 Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
 Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
 Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
 Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.


 Lara Lana
 Oleh: Dewi Dee Lestari
 Cerpen ini dimuat di kumpulan cerita dan prosa Filosofi Kopi (Gagas Media, 2005)

Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersih takjub juga ngeri. Seberantak angka yang susah dihafal mampu membongkar kenangan usang dan memberinya makna baru. Dia yang baru. Aku yang usang.

Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali.

Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu terdengar nada sambung nanti, Lana siap berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang terakhir kali. Kata ‘apa kabar’ akan meluncur dengan semangat penghabisan matahari sore sebelum dipadamkan malam. Lalu ia lancarkan sepaket basa-basi dalam urutan yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sejarah sebagai yang paling mengasyikkan.

Lalu perasaan itu. Rasa rindu yang akan ia ungkapkan hati-hati, dicicil sehingga tidak terasa picisan. Rasaya sayang dikemas dalam kiasan seperti membungku puteri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai dansa. Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya berhari-hari. Bertahun-tahun.

Dua angka sebelum digit terkahir. Jarinya bertahan oleh detik yang tahu-tahu membeku. Detik yang tahu-tahu melebar dan membentangkannya dua puluh tiga tahun perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang. Tapi mereka tidak bsia bersama karena alasan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Kamu itu bajaj bermesin BMW, begitu Lana mengungkapkan padanya saat didesak.

Lana kenal banyak BMW bermesin bajaj, dan semua itu habis ia hina-hina. Untuk benar-benar bersanding sebagai pacar Lana, seseorang harus jadi mobil mewah Eropa luar dalam. Lana yang unik dan glamor. Kamu cukup jadi kacung intelektualku saja, kata Lana padanya. Mereka berdua lantas tertawa-tawa, mereka suka perumpamaan itu, sekali pun hatinya patah setiap kali kata ‘kacung’ terlontar dari bibir Lana yang menguncup menggemaskan.

Dia ingin jadi pendekar sakti, seorang master, ilmuwan kaya raya yang menciptakan temuan-temuan hebat untuk memajukan umat manusia. Lana ingin menjadi anggota dari kelompok ultraelit yang memperoleh teknologi dari makhluk Mars untuk membangun koloni rahasia di bulan. Mereka percaya teori konspirasi dan secara berkala bertukar informasi yang dikarang sendiri. Tak ada orang yang lain mampu menghibur Lana sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menjajal daya khayalnya.

Masa kuliah mereka habiskan di tempat berbeda. Dia kuliah di UI dan untuk itu terpaksa menumpang di dapur pamannya di Lenteng Agung karena beliau beranak delapan dan itulah satu-satunya tempat yang masih muat digelari kasur. Lana kuliah di USC yang mengharuskannya tinggal di Los Angeles. Sama-sama ‘L.A.’, baru kalau diuraikan perbedaannya terlihat, canda mereka selalu sama. Namun ada kalanya persamaan insignifikan itu, aksara L dan A, menjadi satu-satunya penghibur kala kangen mereka tak lagi terbendung.

Lana tidak menyelesaikan kuliahnya di USC, dan itu tidak masalah. Bisnis keluarganya terlalu banyak untuk menunggu sebuah gelar kesarjanaan. Lain halnya dengan dia yang mencicil gelar demi gelar, mengetuk banyak pintu demi beasiswa, lalu kembali berjuang meniti karier akademis yang terjal, yang tak akan pernah membuatnya sekaya raya Lana.

Saat dia menjadi dosen, hidup sederhana dalam rumah cicilan tipe 35 di perumahan milik universitas yang sebagian masih rawa-rawa, Lana membantunya pindahan, bahkan menginap dan ikut tidur di atas tikar. Pendar-pendar televisi pemberiannya menyemarakkan dinding polos yang tak berhias. Lana tidak punya koloni di bulan, tapi penghasilannya lebih dari cukup unutk menghadiahkan televisi.

Lana tinggal seminggu di rumah itu. Setelah kita mencoba hidup 24 jam x 7 hari dengan seseorang dan tidak merasa bosan, maka orang itu bisa kita nikahi, Lana berteori. Mendengar ucapan Lana, ia tertawa sampai berurai air mata, diikuti Lana sampai tercekik-cekik. Saya tidak mungkin menikahi kamu, ia bercelutuk di ujung tawanya. Barulah Lana sadar, mereka berdua tertawa karena alasan yang berbeda.

Suatu hari dia bilang kalau dia punya pacar. Baru seminggu. Seorang gadis tingkat akhir yang lugu, kaku, dan tidak seru. Tidak percaya UFO, tidak suka Kho Ping Hoo, dan tidak peduli ada tidaknya konspirasi global selama nasi tersaji di meja makan keluarganya setiap hari, selama adzan masih berkumandang lima kali sehari. Kenapa kamu bisa suka, Lana bertanya. Karena dia mau sama saya, ia menjawab. Lana spontan tertawa, kaku dan lama. Ia hanya tersenyum dan menunggu tawa Lana usai. Saya akan menikah, lanjutnya saat hening. Bagaimana kamu bisa menikahi orang yang baru kamu kenal, yang tak seru, yang tak bisa menghargai keunikan pikiranmu, yang tak bisa kamu ajak bercanda dan berkhayal semalam suntuk, cecar Lana yang mulai marah karena percakapan itu makin tidak lucu.

Dia diam, menatap Lana dengan lelah. Dia jemu menanti yang tak pasti. Dia jenuh menjadi pihak yang tak berdaya. Manusia mana yang tidak, pikir Lana. Namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Keadaan mereka terlampau jauh berbeda. Terkadang Lana berpikir keajaibanlah yang melahirkan manusia satu ini. Bagaimana mungkin lingkungan serba kekurangan, kolot, konservatif, ortodoks, kampungan, dan segala ajektif yang menandakan sistem klaustrofobik sosial mampu menghadirkan dia yang sebegitu canggih dan gila. Seolah dia terbelah dalam dua dunia: dunianya bersama Lana dan bersama sisa dunia tanpa Lana.

Lana ingat saat terkahir kali nomor itu tertera di layar ponselnya: Besok saya lamaran. Doakan ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan? Hidup berjalan sesuai kontrak yang disepakati antar-roh sebelum terlahir menjadi daging di dunia. Apa pun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi, apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stres saat pertama kali mendengar konsep itu di retret anti-stres.

Akhirnya Lana tak tahan lagi, nelepon membabi buta: Saya mohon, jangan pergi melamar ke sana. Kalau kamu menikah, saya akan jadi orang paling kesepian di dunia. Kalau perlu, saya yang melamar ke orangtua kamu. Jangan bohongi diri kamu. Cuma saya yang mengerti siapa sebetulnya kamu…

Ia memotong, dingin, seolah disusupi roh asing yang tak Lana kenal: Selama ini kamu cuma mengenalku dalam versi yang kamu mau. Aku begitu karena kamu. Kamu tdak pernah tahu siapa diriku sebenarnya.

Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkali ia salah sambung. Perjanjian macam apa ini? Benarkah ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soulmate? Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract.

Anaknya yang paling besar sudah mau masuk SD, mereka masih tinggal di rumah yang sama. Lana tahu itu dari seorang alumni. Dan kamu belum menikah? Temannya itu bertanya, hati-hati. Lana menggeleng ringan dengan ekspresi yang bikin iri. Ada kemerdekaan di sana, penerimaan, dan keberanian untuk menjadi beda. Sejak dulu memang cuma Lana yang punya itu semua, temannya membatin. Bergaul dengan Lana seperti hanyut dalam air sejuk, tapi kesejukan itu lama-lama menjadi dingin yang mengintimidasi. Temannya pun permisi pergi, meninggalkan Lana yang kehilangan belahan jiwanya pada reuni akbar, pada sat jiwa-jiwa yang terpisah seharusnya kembali bertemu.

Digit terakhir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat. Hatinya lalu mengukur dan menimbang: Akankah aku bertambah tenang bila berhasil membuktikan pada diriku, pada dia, pada dunia, kalau aku baik-baik saja?

Saut percakapan telepon akan membuktikannya. Satu dosis kejujuran sebelum Lana pergi meracuni tubuh dengan kemoterapi – racun yang berbohong jadi obat.

Jempol itu melayang di atas nol. Kejujuranlah obat sejati.

Suara sintetik bernada tinggi menggema di ruang tunggu yang lengang. Tombol terakhir dipencet sudah. Aku mencintaimu. Tidak akan berubah.

Tombol merah yang Lana pilih menghapus kesembilan digit angka pada layar ponsel yang menyala biru. Seorang perempuan berseragam menghampirinya, ‘Bapak Maulana, mari saya antar ke pesawat.’

Lana tidak terburu-buru. Tangan bergerak pelan dan khidmat. Pesawat itu pasti mau menunggu seorang pesakitan untuk melipat dan menyimpan secarik kertas ke dalam dompet, sebagaimana kertas itu sudah terlipat dan menunggu bertahun-tahun di tempat sama. Lalu Lana beringsut hati-hati ke kursi roda yang dibawakan khusus untuknya.

‘Tidak apa-apa, Pak?’ petugas itu bertanya saat melihat mata Lana.

Lana tersenyum tipis, ringan, ekspresi yang memancing rasa iri. Ada kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian untuk menjadi beda. Namun ada juga bulatan air menyerupai angka nol yang menyembul di pelupuk mata. Lana menghancurkan bulatan itu dengan punggung tangan, ‘Tidak apa-apa.’

***

Tentang Dewi Dee Lestari
 Diawali dengan debutnya lewat novel serial Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh pada tahun 2001, dan menyusul enam judul buku sesudahnya hingga yang terakhir Madre tahun 2011, Dee telah menancapkan jejak indahnya di khasanah perbukuan negeri dan hati pembacanya. Cerpen Mencari Herman yang diterbitkan dalam antalogi Filosofi Kopi merupakan karya sastra terbaik versi Majalah Tempo tahun 2006.


Harga Rp 45.000,-
save 14%

Rp 38.700,-


Stok tersedia



Klik!



oleh Nick Hornby.

SINOPSIS

Sepuluh suara, satu cerita!
Kakek Maggie dan Jason meninggal dunia. Dia mewariskan kamera dan foto-fotonya pada Jason, dan kotak berisi kerang untuk Maggie. Hadiah-hadiah ini membawa mereka ke sebuah perjalanan yang tak pernah terbayangkan, mengungkap banyak rahasia, dan mengubah kehidupan...
Sepuluh penulis bestseller, pemenang penghargaan, bersama-sama menulis novel yang penuh kejutan.

Penulis: Eoin Colfer - Linda Sue Park - Ruth Ozeki - Nick Hornby - Tim Wynne-Jones - Gregory Maguire - David Almond - Deborah Ellis - Margo Lanagan - Roddy Doyle

DETAIL

JudulKlik!
Seri
ISBN/EAN9789792287417 / 9789792287417
AuthorNick Hornby.
PublisherGramedia Pustaka Utama (GPU)
Publish13 September 2012
Pages228
Weight234 gram
Dimension (mm)135 x 200
TagFiksi